Entri Populer

Jumat, 23 Juli 2010

Kerusuhan Pertama Di Era Orde Baru


Peristiwa berdarah di era Orba ini terjadi tiga puluh enam tahun yang lalu. Ya! tepatnya 15 Januari 1974, di mata masyarakat Indonesia waktu itu peristiwa ini terjadi lantaran penolakan para mahasiswa yang di motori oleh mahasiswa UI dan Trisakti atas buntut dari konjungan PM Jepang saat itu Kakue Tanaka, mahasiswa menolak masuknya modal asing (Jepang) ke Indonesia, dan peristiwa ini merupakan klimaks atas kunjungan ketua IGGI Jan Pronk sebelumnya, dimana Pronk menghembuskan pemikiran perlunya arus modal asing masuk ke Indonesia untuk menumbuhkan perekonomian bangsa. Konsep ini memang di dukung oleh kelompok alumnus Universitas Barkeley, yakni Ali Wardhana dan Widjojo Nitisastro, dimana konsep ini di tentang oleh para mahasiswa yang menginginkan berpijak di atas kaki sendiri membangun perekonomian bangsa melalui konsep koperasi yang dibangun oleh Bung Hatta.

Namun perseteruan yang timbul dipermukaan bukanlah dua hal tersebut di atas, setelah peristiwa berdarah itu berlalu sekian lama, maka baru dimengerti bahwa konsep pembangunan ekonomi itu hanya jembatan belaka buat dua jenderal yang sedang berseteru. Peristiwa tiga puluh enam tahun yang lalu itu bagi saya yang baru duduk di kelas lima Sekolah Dasar belumlah mengerti benar apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini, namun ekses dari peristiwa itu yang saya ingat adalah Ayah saya sebelum berangkat kerja telah menulis dengan huruf besar di atas karton "BUATAN ITALIA" untuk mobil Fiat 125 kesayangan kami kala itu, sementara Datsun pick up yang nota bene buatan Jepang, selama kerusuhan itu tidak pernah dikeluarkan (takut di jarah dan dibakar)

Untuk ukuran anak yang baru duduk di bangku SD saya sudah tergolong nekat untuk menyaksikan secara langsung peristiwa berdarah pertama di era Orba. Bagaimana situasi sepanjang jalan Jenderal Sudirman sudah banyak mobil-mobil buatan Jepang, baik kendaraan pribadi maupun umum (kebanyakan taksi) yang di bakar oleh massa, sedangkan show room Astra dibilangan jalan yang sama sebelum ludes dibakar terlebih dahulu di jarah oleh massa yang jumlahnya sudah mencapai ribuan. Saya terus beregerak (jalan kaki) dari Pejompongan menuju Senen, untuk melihat bagaimana aksi massa menjarah toko-toko emas di sana (Pasar Senen kala itu masih jadi pusat belanja mewah di Jakarta di samping Sarinah).

Aksi massa yang semakin tidak terkendali itu membuat aparat keamanan melakukan tindakan represif kepada massa yang bergerombol di jalan, kami di kejar hingga ke jalan Salemba Raya, disini saya ingat betul karena saking banyaknya massa yang berhamburan tidak karuan saya kesandung salah seorang yang jatuh karena panik, maka sayapun ikut terjatuh, dan secara bersamaan tukang becak yang dibelakang saya dengan paniknya mengayuh becaknya sekuat tenaga hingga melindas tubuh saya, bahkan seorang tentara yang mengejar massa pun dengan gagah perkasanya menginjak tubuh saya (apes bener udah kelindes becak masih diinjak pulak).

Tidak ingin menjadi bulan-bulanan tentara saya pun lari sekuat tenaga hingga ke arah Jalan Diponegoro, tidak ingat di rumah siapa dibilangan jalan itu saya melompati pagar (cari selamat), tapi naas paha kaki kiri saya tersangkut pagar yang berujung cukup tajam sehingga membuat paha bagian dalam saya sobek (kini membekas dan jadi kenangan manis perjalanan hidup saya), saya tinggal sendirian, entah di mana teman-teman saya yang lainnya, yang jelas menjelang sore saya baru bisa sampai di rumah dalam keadaan badan sakit-sakit dan terluka, dan ternyata saya lah yang pulangnya paling akhir, tiba di rumah orang tua sudah panik dengan keadaan saya, tapi saya terpaksa berbohong (daripada gak boleh main lagi) bahwa luka yang ada di paha kiri akibat main bola.

Berikut ini saya ambilkan artikel dari Blog Last Stand Hero yang mencoba mengungkap sedikit peristiwa Malari 1974 itu.

Konspirasi Dua Jenderal Dibalik Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974


Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974

Kerusuhan Malapetaka 15 January 1974 merupakan peristiwa yang menarik untuk diketahui, peristiwa ini adalah tonggak kerusuhan massa terbesar selama rezim Soeharto berkuasa,peristiwa ini terjadi saat perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Indonesia, para demonstran yang kebanyakan berasal dari mahasiswa memanfaatkan moment ini untuk berujuk rasa besar besaran dalam rangka menolak masuknya dominasi asing khususnya Jepang dalam kegiatan perindustrian dan perdagangan di Indonesia yang berujung pada kerusuhan,penjarahan dan pembakaran aset aset pemerintah maupun masyarakat biasa.

Para mahasiswa yang terlibat kebanyakan berasal dari Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti ini dituduh ditunggangi organisasi massa dan kepemudaan tertentu semisal PSII, HMI dan bekas Masyumi ,karena aksi mereka berujung pada tindak anarkis,sediktnya 11 orang meninggal,300 orang mengalami luka ,775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak atau dibakar ,144 bangunan rusak, dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan di Jakarta,bahkan proyek pembangunan Senen yang bernilai milyaran rupiah pada saat itu ikut hangus terbakar,namun pada saat itu media massa hanya memberitahukan peristiwa yang dapat terlihat secara kasat mata, informasi tentang puluhan mahasiswa dan penggerak massa dijebloskan ke penjara dengan status tahanan politik(tapol) serta aktivis yang hilang secara tiba tiba ,alpha dari pemberitaan,bahkan masyarakat ataupun mahasiswa mahasiswa itu sendiri baru mengetahui setelah rekannya banyak yang hilang secara misterius dan pada tahun 1990an Ramadhan KH dan Heru Cahyono dalam bukunya mencoba menguak fakta tentang penjemputan paksa orang orang yang terlibat dalam peristiwa malari ini dirumah mereka masing masing,seperti yang terjadi pada Salim Hutajulu(Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Ilmu Sosial kala itu),Hariman Siregar(ketua Dewan Amanat Mahasiswa) tak luput juga Syahrir dan Dorodjatun Kontjoro Jakti(eks MekoPerekonomian zaman Megawati)yang masing masing dijebloskan ke penjara selama enam tahun.

Para mahasiswa mengepung bandara Halim Perdanakusumah yang sedianya digunakan untuk menjemput PM Jepang kala itu, Kakuei Tanaka,mereka mencoba menerobos masuk ke Pangkalan Udara tersebut namun tidak berhasil karena sudah dijaga aparat secara ketat, sebab pemerintah sudah mencium akan adanya aksi massa itu sehingga pemerintah menjemput PM Tanaka dengan helikopter dari Bina Graha langsung ke Istana Negara tanpa melakukan iring iringan kendaraan yang lazim dilakukan untuk menjemput tamu negara.

Sebenarnya aksi para mahasiswa dan sejumlah organisasi yang diduga menunggangi kerusuhan ini merupakan klimaks dari kunjungan ketua IGGI asal Belanda Jan Pronk yang menghembuskan pemikiran masuknya modal asing guna menguatkan perekonomian Indonesia, mereka memanfaatkan momen itu untuk menolak kebijakan Soeharto dan Orde Barunnya kala itu,pada masa itu ada dua kubu dengan pemikiran yang berbeda dalam menerapkan kebijakan startegi pembangunan kubu yang pertama adalah kubu Hatta yang menitikberatkan pada koperasi , kubu ini cenderung lebih nasionalis namun sosialis.Kubu Hatta sangat menekankan pada pemerataan. Sedangkan kubu yang kedua adalah kubu Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana serta kawan kawanya yang lain yang sama sama alumnus University California of Berkeley, para pengamat di lingkungan akademisi dan pers menyebut mereka mafia Berkeley, kubu ini mengadopsi teori Adam Schwarz dari AS yang mengagungkan pembangunan ekonomi dari pertumbuhan dengan motivasi akan terciptanya trickle down effect atau efek merembes ke bawah alias otomatis terjadi pemertaan dengan sendirinya atau dapat dikatakan mereka menerapkan kapitalisme gaya Indonesia .Soeharto lebih menyukai dan akhirnya menerpkan teori Widjojo dan Ali Wardhana ini, Soeharto berharap dapat menutup luka lama orde lama yang dianggapnya tidak baik.

Setahun sebelum peristiwa malari ini memang sudah ada cikal bakal pemberontakan dari kalangan akdemisi guna menjatuhkan kewibawaan orde baru, salah satunya adalah perkumpulan aktivis aktivis yang tergabung dalam Grup Diskusi UI atau GDUI termasuk Dorodjatun Kontjoro Jakti ( mantan menko perekonomian pada kabinet Megawati) dan Sjahrir (Ketua umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru).Aksi lebih nyata pun pernah terjadi dengan skala yang lebih kecil seperti Mahasiswa Menggugat dan Golongan Putih, namun kedua aksi tersebut tidak mampu melibatkan aksi masa yang besar.
Hal yang perlu dicatat setelah peristiwa ini meletus adalah lebih ketatnya Soeharto mengawasi aksi mahasiswa , menerapkan kembali secara tegas undang undang subversif dan tidak ragu menjebloskan seseorang maupun kelompok ke penjara sebagai bentuk preventif dan juga represi.

Dua Jendral Dibalik Peristiwa Malari

Secara awam ,kita mengenal Malari sebagai tindakan kerusuhan yang disebabkan kekecawaan masyarakat terhadap pemerintahan diktator dan totaliter Soeharo yang diwakili oleh kaum intelektual seperti mahasiswa, namun banyak orang yang percaya bahwa Malari merupakan hasil konspirasi dan buah persaingan antara dua jenderal.Jendral yang dimaksud adalah Jendral Ali Moertopo dan Soemitro, hal serupa sebenarnya dapat kita amati pada persaingan antara Wiranto dan Prabowo pada tahun 1998.
Meminjam istilah dari Chalmers Johnson kedua jenderal tersebut dapat disebut sebagai scorpion general(Blowback,2000) sebab seorang Ali Moertopo dan Soemitro merupakan dua tokoh militer yang sentral dalam peristiwa tersebut, mereka memiliki kekuasaan dan berdalih lawanya yang melakukan konspirasi tersebut.

Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi (eksterm kanan) adalah dalang peristiwa tersebut, Ali Moertopo menuduh oknum inilah yang merasuk dalam gerakan mahasiswa.Dalam buku tulisan Cahyono,Jendral Ali Moertopo justru mendalangi peristiwa Malari berasama CSIS-nya, ia juga menambahkan bahwa Ali Moertopo dan Soejono Humardani yang kala itu keduanya menjabat sebagai Asisten Pembantu Presiden malahan membina hubungan dengan pemimpin eks DI/TII dalam sebuah organisasi dengan nama GUPPI(Gabungan Usaha Perbaikan Perbaikan Pendidikan Islam), Hal yang cukup menariksebab walaupun belum terbuti atau belum ada satupun orang yang berani membuktikan kebenaran ini dan sampai sekarang masih berwujud prasangka ataupun dugaan namun pada masa orde baru pemanfaatan unsur islam radikal terus terjadi pada masa itu.

Sebaliknya Ali Moertopo justru menuduh balik Soemitro,kala itu Soemitrio menjabat sebagai Panglima Komkabtib sedangkan Ali Moertopo menjabat sebagai Asisten Pribadi Presiden baersama S. Humardani, Letnan Soeryo, dan Mayjen Tjokropranolo. Ia menganggap Soemitro sebagai “orang luar” yang seharusnya bertanggung jawab dalam kerusuhan itu. Pandangan Ali Moertopo terhadap Soemitro
Era dimana peristiwa Malari meletus, Soeharto membentuk “Guardian General” atau jendral penjaga yang tugasnya kurang lebih mengawal pemerintahan Soeharto yang totaliter, ada empat orang yang berindak sebagai satgas disini, semisal S.Huamrdai,Soeryo,Tjokoropranolo dan Ali Moertopo. Sebelum bertugas di Aspri Ali Moertopo adalah Wakil Ketua Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), ia adalah orang yang berkiprah besar dalam dunia intelijen Indonesia, bersama S. Humardani ia merintis CSIS ( Center for Strategic and International Studies) yang merupakan lembaga penelitian terhadap kebijkan pemerintah khususnya aksi dalam bentuk intelijen internasional ia juga menerbitkan tulisan Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun yang selanjutnya diterima MPR sebagai strategi pembangunan jangka panjang (PJP).Kedekatanya dengan Soeharto yang mengakibatkan dirinya sebagai salah satu Aspri dan Menteri Penerangan pasca Malari dimulai saat memulai kiprahnya sebagai anggota militer, ia tergabung dalam Banteng Raider dibawah komando Ahmad Yani dalam menumpas radikalis Islam Darul Islam,Ali kala itu mendukung Letkol Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro ,akhirnya Soeharto berhasil dipilih dan sebagai imbalanya Ali Moertopo diangkat sebagai Asisten Teritorial sebelum akhirnya ia ditarik ke Jakarta untuk menduduki beberapa jabatan strategis disana.

Ali Moertopo menganggap Soemitro sebagai orang yang tidak setia kepada Soeharto, ia dan kawan kawanya di Aspri menganggap manuvernya di Pangkomkabtib terlalu berbahya bagi kelangsungan kekuasaanya sebagai pembisik presiden di tingkat atas.
Dalam sebuah dokumen Ramadi disebutkan bahwa Soemitro menggalang dukungan di kampus kampus, lebih lengkapnya Ramadi yang dikenal dekat dengan Ali Moertopo menyebutkan bahwa ada jendral yang berinisial S yang akan merebut kekuasaan Soeharto, dan dipastikan Pak Harto akan jatuh. Tudingan dalam hal ini tentu saja mengacu pada Soemitro.

Namun Dukumen Ramadi ini justru didukung oleh ucapan Soemitro sendiri ,Soemitro kala itu sering melakukan roadshow mengunjung petinggi militer lokal di dareah, dalam salah satu kesempatan Soemitro menyebut “Jenis Kepemimpinan Baru” yang tentu saja merujuk pada gaya kepemimpinan Soeharto.
Nahas bagi Ramadi,dokumenya benar benar membuat huru hara di lingkungan jendral-jendral,petinggi militer yang tidak merasa terlibat merasa dokumen ini akan membahayakan posisinya, Ramadi ditangkap dan akhirnya meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Pandangan Soemitro Terhadap Ali Moertopo
Soemitro dikenal sebagai jenderal yang juga seorang pemikir,hingga akhir hayatnya ia masih krirtis terhadap pemerintahan walaupun hanya berkutat pada bidang parlementarian,seperti pada tahun 1997 setahun sebelum ia wafat,ia mengomentari posisi PPP dan ABRI yang dinilai tidak bermanfaat bagi parlemen.

Jenderal Soemitro dilahirkan di daerah Probolinggo 13 Januari 1927,Ayahnya merupakan aktivis PNI dan berkerja sebagai kasir di PG Gending sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.Soemitro muda tinggal di lingkungan religius di pondok pesantren hingga menginjak usia 16 tahun ia mendaftar sebagai anggota Bala Bantuan PETA, ia diterima dan akhirnya mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan militer di Akademi Militer Bogor,saat agresi Belanda II meletus ia ditunjuk oleh Panglima Komando Jawa Kol.Nasution untuk melakukan teknik Wingate ,atau operasi gerilya yang diadopsi dari gaya serang perang di Burma saat itu Soemitro menjabat sebagai Sub Wehrkreise Kota Malang.

Kala itu Soemitro berhasil menjalankan tugasnya dengan baik ia ditunjuk menjadi komandan batalyon tingkat regional dan ditugaskan menumpas laskar liar di segitiga Pasuruan,Sidoarjo dan Mojokerto.
Sebagai seorang petinggi militer zaman Orba ,karrinya cukup diperhitungkan,ia menempuh Advanced Course di Fort Benning,Amerika,pendidikan yang juga pernah ditempuh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Setelah Malari meletus ia memutuskan hengkang dari dunia militer yang melambungkan namanya,ia menulis buku yang cukup membuka mata kita ,dengan judul Pankopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa Malapetaka 15 Januari ’74 .
Dalam peristiwa Malari Soemitro adalah tokoh strategis dalam kejadian berdarah tersebut, Soemitro kala itu menjabat sebagai Pangkopkamtib ,ia dituduh Rivalnya Ali Moertopo yang saat itu menjabat sebagai salah satu Aspri melakukan aksi sabotase menggulingkan Soeharto,sebuah okumen dari orang dekat Ali Moerttopo menyebutkan bahwa ia menggalang kekuatan di kampus kampus,terlepas dari itu semua Soemitro menganggap Ali Moertopo lah yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa Malari tersebut, Ali Moertopo memiliki otoritas yang penuh di CSIS sebuah badan merangkap pusat studi intelijen yang pastinya didukung oleh orang orang hebat dalam bidang itu, sebenarnya dugaan Ali Moertopo itu didukung dengan analisis bahwa jenderal Ali Moertopo memiliki hubungan dengan golongan ektrimis sayap kanan Islam .

Peristiwa Malari: Murni Gerakan Mahasiswa atau Konspirasi Petinggi Militer?
Sebelum adanya peristiwa Malari sebuah diskusi konstruktif sudah ada di UI ,mereka akademisi UI menyatakan sikapnya dan evaluasi tentang gerakan mahasiswa dan kelompok lain yang mengatasnamakan diri sebagai pemuda, seperti Gerakan Golongan Putih, Mahasiswa Menggugat dan lain sebagainya.

Gerakan gerakan diatas belum mampu mendobrak pemerintah, dan para pelakunya sudah terlebih dahulu dibekuk pemerintah dengan tuduhan subversif dan tuduhan yang dibuat buat lainya.
Pasca meletusnya Malari, Ali Moertopo yang kala itu duduk sebagai Asisten Pembantu Presiden menganggap para mahasiswa didukung oleh radikalis sayap kanan yang berhalauan Islam seperti orang orang eks Masyumi yang pro orde lama dan merasa sakit hati dengan Soeharto namun mahasiswa tidak serta merta membantahnya karena dalam tubuh mahasiswa sendiri ada organisasi HMI dan PSII yang memang diisi oleh orang orang eks Masyumi, anggap saja hal itu sudah tidak jadi soal tentang siapa orang orang yang terlibat, namun pendapat Soemitro yang mengatakan justru Ali Moertopo lah yang menjadi aktor intelektual,perlu diingat bahwa Ali Moertopo memiliki CSIS, organisasi memang sebagai pusat studi intelijen nasional, namun secara logika CSIS diidi oleh orang orang hebat sebagai pakar intelijen , yang menurut Soemitro adalah orang orang yang bertanggung jawab menghasut para mahasiswa, tidak ingin kalah kubu Ali Moertopo ,diwakili oleh Ramadi mengeluarkan dokumen yang telah disebutkan diatas, lalu siapakah yang menjadi aktor intelektualnya?

Dibalik pertanyaan besar yang masih melingkupi kabut peristiwa berdarah tersebut para analisis dibidang militer maupun bidang politik mengungkapkan kekuatan dua kutub magnet militer antara Ali dan Soemitro sangatlah kuat.Friksi antara dua jenderal besar tersebut membuat beberapa penggiat buku menerbitkan 12 buku rujukan yang memnceritakan kejadian berdarah tersebut.

Sumber:
id.wikipedia.org/ali moertopo
id.wikipedia.org/soemitro
id.wikipedia.org/malari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar